Angka pernikahan rendah di Korsel, biro jodoh dan pemerintah jadi ‘Mak Comblang’

Mind News – Min Jung sangat terpukul kala itu.
“Saya selalu berpikir kami akan menikah suatu saat nanti,” katanya.
“Saya sedang berbaring di tempat tidur dan main ponsel ketika saya melihat iklan biro jodoh, dan saya berpikir, ‘Mengapa tidak?'”
Keputusan impulsif itu membawa perempuan berusia 30 tahun tersebut berjumpa dengan Tae Hyung, yang kini menjadi suaminya.

Pengantin baru ini sudah memasuki bulan keempat pernikahan mereka.
Mereka mengaku bahwa hubungan mereka bukanlah cinta pada pandangan pertama, namun keduanya mengaku merasa klop satu sama lain.
“Saat itu ada pesta yang digelar kantor sebelumnya, saya datang ke kencan kami dalam kondisi pengar, jadi saya tidak dalam kondisi terbaik saat pertama kali bertemu istri saya,” kenang Tae Hyungs.
“Tapi saya menyukai senyumannya; kami asyik mengobrol.”
“Saya ingin kesempatan kedua. Saya harus bekerja keras memberinya kesan yang lebih baik tentang saya setelah kencan pertama itu.”

Biro jodoh Korea Selatan mengatur tiap detail kencan pertama klien mereka.
Namun sebelum itu, mereka mengumpulkan informasi pribadi dari masing-masing klien mereka.
Rincian informasi pribadi seperti usia, pekerjaan, aset keuangan, dan latar belakang keluarga perlu diisi.
Klien kemudian dinilai berdasarkan profil mereka.
Misalnya, klien yang berstatus sebagai dokter atau pengacara cenderung mendapat peringkat tertinggi dalam daftar bidang pekerjaan klien.
Sementara pekerja kantoran di perusahaan besar mendapat peringkat di bawahnya.

Akan tetapi, beberapa orang menganggap sistem penilaian ini bermasalah karena dianggap materialistis dan terlalu mementingkan status sosial.
Namun bagi Min Jung, menemukan seseorang yang “mirip” dengannya adalah hal yang penting.
Demikian halnya bagi Tae Hyung, yang berharap informasi yang dia berikan kepada mak comblang akan memungkinkan mereka menemukan seseorang yang cocok dengannya.

Dan, biro melakukan tugasnya dengan baik.
Min Jung dan Tae Hyung, keduanya adalah pekerja kantoran di Seoul, kini membuka babak baru dalam hidup mereka—tidak hanya dalam pernikahan, tetapi juga sebagai salah satu pemilik toko wine.
“Hidup saya akan jadi membosankan sebagai pekerja kantoran dengan rutinitas sehari-hari,” kata Tae Hyung sambil memegang tangan istrinya.
“Tetapi sekarang, saya melakukan sesuatu yang baru dan membangun kehidupan bersama istri saya—itu sangat menyenangkan.”

Mengapa perjodohan naik daun di Korsel?

Biro jodoh pernikahan sedang booming di Korea Selatan, dengan hampir 1.000 agen yang beroperasi di seluruh negeri pada 2024.
Dari ribuan biro jodoh, banyak yang mencapai rekor penjualan.
Kami berbicara dengan beberapa biro jodoh, yang memberi tahu kami bahwa aktivitas mereka telah meningkat sebesar 30% selama beberapa tahun terakhir, dan jumlah remaja lajang yang menggunakan layanan mereka terus meningkat.
“Lebih sedikit peluang untuk pertemuan alami selama Covid berarti lebih banyak orang beralih ke perjodohan,” kata Han Ki Yeol, wakil presiden biro jodoh kelas atas N.Noble.

Dia menambahkan bahwa keberhasilan “klien Covid” ini menunjukkan adanya “pergeseran persepsi” yang membantu mendorong pertumbuhan biro jodoh.
“Dulu, anak muda mengira biro jodoh ini diperuntukkan bagi mereka yang gagal menikah,” katanya.
“Sekarang, mereka melihatnya sebagai cara untuk menemukan seseorang yang sesuai dengan kebutuhan mereka.”
Seorang dokter berusia 32 tahun yang merupakan klien dari salah satu biro jodoh, dan meminta untuk tidak disebutkan namanya, mengatakan banyak temannya telah mendaftar untuk layanan tersebut.
“Dulu saya berpikir negatif tentang biro jodoh ini, tapi sekarang semuanya terasa normal,” katanya.

“Kencan buta yang dirancang oleh teman-teman terlalu membebani saya. Sulit untuk menolak seseorang ketika Anda memiliki hubungan pertemanan. Biro jodoh mengapus beban itu.”
Namun bahkan mereka yang sudah sukses pun bisa menganggap prosesnya tidak bersifat pribadi, dengan terlalu menekankan pada status sosial.
Min Jung mengenang hari pertama dia memberi tahu orang tuanya bahwa dia mendaftar ke biro jodoh.
“Rasanya agak memalukan, persepsi umum mengenai penggunaan biro jodoh tidak terlalu positif,” katanya.
“Misalnya, rasanya seperti orang-orang dinilai berdasarkan profilnya dan menikah tanpa cinta.”
Dan perjodohan tidak berhasil untuk semua orang.

Biaya penggunaan agen adalah alasan lain mengapa klien merasa tertekan.
Biaya yang berkisar dari US$1.400 (setara Rp22 juta) hingga US$5.600 (setara Rp90 juta) bisa membuat orang ragu untuk mendaftar ke layanan ini atau lambat mendaftar ulang untuk mengatur tanggal kencan tambahan setelah mereka bergabung.
Seorang guru berusia 36 tahun, yang juga meminta untuk tidak disebutkan namanya, pernah menggunakan salah satu biro jodoh sepuluh tahun yang lalu, namun tidak menemukan orang yang cocok.
“Orang-orang yang saya temui melalui biro jodoh adalah orang-orang dengan kekurangan yang signifikan, atau memiliki profil yang sempurna namun memiliki standar yang sangat tinggi,” kenangnya.
“Itu terlalu membuat frustrasi.”

Kencan kilat yang digelar pemerintah

Menurunnya angka pernikahan dan kelahiran telah lama menjadi masalah di Korea Selatan.
Meskipun layanan perjodohan meningkat baru-baru ini, angka pernikahan masih berada pada rekor terendah.
Pada 2023 silam, jumlah pernikahan turun 40% dibandingkan satu dekade lalu.
Tingkat kesuburan total di negara ini—jumlah rata-rata anak yang dimiliki seorang perempuan pada masa reproduksinya—mencapai titik terendah sepanjang masa yaitu 0,72.
Itu adalah angka terendah di dunia.
Para pakar mengaitkan angka-angka ini dengan jam kerja yang panjang di Korea Selatan, yang pada 2017 merupakan yang tertinggi kedua secara global setelah Meksiko.

Keseimbangan membagi waktu dan energi antara pekerjaan dan kehidupan pribadi yang buruk, harga rumah yang tinggi, dan biaya perawatan anak yang mahal juga mempersulit perempuan untuk kembali bekerja setelah melahirkan.
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mengatakan bahwa tingkat kesuburan total suatu negara harus berada di sekitar 2,1 untuk mempertahankan populasi yang stabil.
Dalam upaya untuk meningkatkan tingkat kesuburan, pemerintah Korea Selatan terpaksa turun tangan.
Kini mereka berperan sebagai mak comblang, mengatur acara kencan kilat untuk membantu warga Korsel menemukan cinta.
Seongnam, sebuah kota di tenggara Seoul, baru-baru ini menjadi tuan rumah acara tersebut untuk ketujuh kalinya tahun ini.

Sebanyak 100 remaja lajang, berusia sekitar 27 hingga 39 tahun, dan tinggal di Seongnam, berkumpul di sebuah pub yang dipenuhi musik, permainan, makanan, dan minuman.
Peserta ini dipilih melalui sistem undian dari kumpulan pelamar.
“Saya datang ke sini tanpa berpikir panjang, tapi sekarang saya merasa gugup,” kata Mu Jin, 32 tahun, seorang peserta.
“Saya bisa merasakan jantung saya berdebar kencang,” tambahnya.
Seperti kebanyakan orang, dia mengaku sulit menemukan pasangan begitu setelah mulai bekerja.
“Pekerjaan saya terlalu sibuk, dan sekarang saya sudah melewati usia 30 tahun, tidak ada waktu atau tempat untuk bertemu orang baru,” katanya.
“Tetapi kota ini telah memberikan peluang bagus untuk itu.”

Meski digelar oleh pemerintah, acara tersebut berlangsung meriah dan santai.
Peserta didorong untuk bergerak di sekitar ruangan, melakukan tos ketika mereka bertemu orang baru dan berpegangan tangan saat mereka berbicara.
Tuan rumah memberikan petunjuk dan pertanyaan untuk membuat orang terus berbicara.
Yoo Sun, perempuan berusia sekitar 30 tahun, datang ke acara tersebut dengan harapan bisa menemukan pasangan.
“Bila Anda memiliki kelompok besar seperti ini—100 orang—agak sulit untuk membentuk koneksi yang mendalam, namun ini merupakan peluang besar untuk bertemu orang-orang,” katanya.

Pemerintah Korsel mengeklaim acara ini sangat sukses.
Laporan tersebut memberi tahu kami bahwa 43% orang yang hadir menemukan pasangannya dan dua pasangan telah menikah.
Sung Jin, yang ambil bagian dalam acara yang diselenggarakan pemerintah, mengatakan: “Tidak mudah untuk menyelenggarakan acara seperti ini, tapi ini juga menunjukkan bahwa ada masalah sosial di baliknya.”
Pemerintah Korsel juga telah mengatasi tantangan demografi dengan menawarkan dukungan penitipan anak dan pinjaman perumahan berbunga rendah untuk pengantin baru.
“Selama 20 tahun terakhir, setiap kebijakan untuk menaikkan angka kelahiran telah gagal,” kata senior Shin Sang Jin.
“Itulah mengapa kami mencoba membantu generasi muda untuk bertemu.”

Pengantin baru ini sudah memasuki bulan keempat pernikahan mereka.
Mereka mengaku bahwa hubungan mereka bukanlah cinta pada pandangan pertama, namun keduanya mengaku merasa klop satu sama lain.
“Saat itu ada pesta yang digelar kantor sebelumnya, saya datang ke kencan kami dalam kondisi pengar, jadi saya tidak dalam kondisi terbaik saat pertama kali bertemu istri saya,” kenang Tae Hyungs.
“Tapi saya menyukai senyumannya; kami asyik mengobrol.”
“Saya ingin kesempatan kedua. Saya harus bekerja keras memberinya kesan yang lebih baik tentang saya setelah kencan pertama itu.”

Biro jodoh Korea Selatan mengatur tiap detail kencan pertama klien mereka.
Namun sebelum itu, mereka mengumpulkan informasi pribadi dari masing-masing klien mereka.
Rincian informasi pribadi seperti usia, pekerjaan, aset keuangan, dan latar belakang keluarga perlu diisi.
Klien kemudian dinilai berdasarkan profil mereka.
Misalnya, klien yang berstatus sebagai dokter atau pengacara cenderung mendapat peringkat tertinggi dalam daftar bidang pekerjaan klien.
Sementara pekerja kantoran di perusahaan besar mendapat peringkat di bawahnya.

Akan tetapi, beberapa orang menganggap sistem penilaian ini bermasalah karena dianggap materialistis dan terlalu mementingkan status sosial.
Namun bagi Min Jung, menemukan seseorang yang “mirip” dengannya adalah hal yang penting.
Demikian halnya bagi Tae Hyung, yang berharap informasi yang dia berikan kepada mak comblang akan memungkinkan mereka menemukan seseorang yang cocok dengannya.

Dan, biro melakukan tugasnya dengan baik.
Min Jung dan Tae Hyung, keduanya adalah pekerja kantoran di Seoul, kini membuka babak baru dalam hidup mereka—tidak hanya dalam pernikahan, tetapi juga sebagai salah satu pemilik toko wine.
“Hidup saya akan jadi membosankan sebagai pekerja kantoran dengan rutinitas sehari-hari,” kata Tae Hyung sambil memegang tangan istrinya.
“Tetapi sekarang, saya melakukan sesuatu yang baru dan membangun kehidupan bersama istri saya—itu sangat menyenangkan.”

Mengapa perjodohan naik daun di Korsel?

Biro jodoh pernikahan sedang booming di Korea Selatan, dengan hampir 1.000 agen yang beroperasi di seluruh negeri pada 2024.
Dari ribuan biro jodoh, banyak yang mencapai rekor penjualan.
Kami berbicara dengan beberapa biro jodoh, yang memberi tahu kami bahwa aktivitas mereka telah meningkat sebesar 30% selama beberapa tahun terakhir, dan jumlah remaja lajang yang menggunakan layanan mereka terus meningkat.
“Lebih sedikit peluang untuk pertemuan alami selama Covid berarti lebih banyak orang beralih ke perjodohan,” kata Han Ki Yeol, wakil presiden biro jodoh kelas atas N.Noble.

Dia menambahkan bahwa keberhasilan “klien Covid” ini menunjukkan adanya “pergeseran persepsi” yang membantu mendorong pertumbuhan biro jodoh.
“Dulu, anak muda mengira biro jodoh ini diperuntukkan bagi mereka yang gagal menikah,” katanya.
“Sekarang, mereka melihatnya sebagai cara untuk menemukan seseorang yang sesuai dengan kebutuhan mereka.”
Seorang dokter berusia 32 tahun yang merupakan klien dari salah satu biro jodoh, dan meminta untuk tidak disebutkan namanya, mengatakan banyak temannya telah mendaftar untuk layanan tersebut.
“Dulu saya berpikir negatif tentang biro jodoh ini, tapi sekarang semuanya terasa normal,” katanya.

“Kencan buta yang dirancang oleh teman-teman terlalu membebani saya. Sulit untuk menolak seseorang ketika Anda memiliki hubungan pertemanan. Biro jodoh mengapus beban itu.”
Namun bahkan mereka yang sudah sukses pun bisa menganggap prosesnya tidak bersifat pribadi, dengan terlalu menekankan pada status sosial.
Min Jung mengenang hari pertama dia memberi tahu orang tuanya bahwa dia mendaftar ke biro jodoh.
“Rasanya agak memalukan, persepsi umum mengenai penggunaan biro jodoh tidak terlalu positif,” katanya.
“Misalnya, rasanya seperti orang-orang dinilai berdasarkan profilnya dan menikah tanpa cinta.”
Dan perjodohan tidak berhasil untuk semua orang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Proudly powered by WordPress | Theme : News Elementor by BlazeThemes